Halaman

Ahad, 19 Februari 2012

Wujudkah Isi Dan Kulit Dalam Ajaran Islam ?





السلام عليكم




Islam adalah agama yang bahagian-bahagiannya saling melengkapi. Jalan Allah yang ikatan-ikatannya tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Kaum Muslimin tidak boleh mengikuti orang-orang Yahudi yang mengimani sebagian Al-kitab dan mengingkari sebagian lainnya. Allah Ta’ala berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ 

“Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu lakukan”(Al-Baqarah : 85)

Termasuk isu yang merebak pada zaman ini, ialah anggapan sebagian orang yang membahagi Islam menjadi “kulit dan isi”, atau “kuliyat dan juz-iyyat”, atau “bentuk dan isi”, atau “ushul dan furu”, atau “bagian luar dan ruh”. Lalu mereka meyatakan bahagian agama yang dianggapnya sebagai kulit atau juz’iyyat, atau bentuk semata. Memang sebagian ulama ada yang menggunakan istilah usul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam menjelaskan ajaran Islam, tetapi mereka tidak bermaksud meremehkan furu’, apalagi meninggalkannya. Tetapi istilah itu untuk menunjukkan nilai pentingnya. Karena semua bahagian agama Islam ini penting, namun nilai pentingnya tidaklah satu derjat.

Adapun orang-orang yang memiliki anggapan sebagaimana di atas, sebagian besar mereka kemudian tidak memberi perhatian terhadap syi’ar-syi’ar yang lahiriyah, yang mereka anggap sebagai kulit. Bahkan menuduh orang yang berpegang dengannya sebagai orang yang menyibukkan diri dengan perkara furu' (cabang), dan orang yang mendakwahkannya dianggap mengobarkan perselisihan dan perpecahan. Sehingga mereka mementahkan berbagai masalah yang dikaji secara ilmiah dengan anggapan, bahwa itu merupakan masalah cabang dan diperselisihkan oleh umat.

Anggapan ini tentu saja tidak diterima oleh agama yang mulia ini. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa sisi.


Pertama : Ayat-Ayat al-Qur’An Dengan Tegas Dan Jelas Memerintahkan Agar Kaum Muslimin Berpegang Dengan Islam Secara Total (Sepenuhnya).

Diantaranya Allah Azza wa Jalla berfirman:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً 
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan” (Al-Baqarah : 208)


Imam Ibnu Kathir rahimahullah berkata pada tafsir ayat ini : “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, yang mempercayai Rasul-Nya, agar mereka memegangi seluruh ikatan-ikatan dan syari’at-syari’at Islam, dan mengamalkan seluruh perintah-perintahnya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangannya semampu mereka”

Setelah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar masuk ke dalam Islam secara total. Dia memperingatkan manusia agar tidak mengikuti langkah-langkah setan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.


وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ 
“Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah : 208)


Ini menunjukkan bahwa hanya ada dua jalan saja, yaitu masuk ke dalam Islam secara total, atau mengikuti jalan-jalan setan yang memerintahkan untuk memisah-misahkan syari’at-syari’at Allah dan meremehkan sebagiannya.


Kedua : Hadith-Hadith Menunjukkan Bahawa Perkara-Perkara Yang Mereka Anggap Sebagai Cabang Atau Kulit Itu Memiliki Hubungan Yang Kuat Dengan Pahala Yang Besar, Kedudukan Yang Mulia, Dan Kenikmatan Abadi.


Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Jika imam berkata “ghairil magh-zhubi ‘alaihim walazh-zhallin”, maka katakanlah “amin”, karena sesungguhnya barangsiapa perkataannya bertepatan perkataan para malaikat, diampuni dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari no 782, Muslim no. 410, dari Abu Hurairah)

Demikian juga hadits-hadits menjelaskan bahwa perkara-perkara yang mereka anggap cabang itu merupakan tonggak kemuliaan dan tetapnya agama ini memperoleh kemenangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Agama ini selalu nampak nyata (menang) selama orang-orang (Islam) menyegerakan berbuka, karena sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkan (berbuka)” (HR Abu Dawud no. 2353, Syaikh Al-Albani menilainya hasan)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak hanya mementingkan perkara-perkara besar, kemudian tersibukkan dari perkara-perkara yang mereka anggap perkara kecil.

“Dari Aisyah –semoga Allah meridhainya-, yaitu isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memberitakan bahwa beliau membeli bantal duduk yang padanya terdapat gambar-gambarnya (makhluk bernyawa, -pent). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihatnya, beliau berdiri di depan pintu, tidak masuk. ‘Aisyah melihat ketidaksukaan pada wajah Rasulullah. ‘Aisyah berkata : “Wahai Rasulullah, aku bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dosa apakah yang telah aku lakukan?” Beliau bersabda : “Apa pentingnya bantal duduk ini?” Aisyah menjawab : “Aku membelinya agar Anda duduk padanya dan menggunakannya sebagai bantal” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan disiksa pada hari Kiamat. Dan akan dikatakan kepada mereka : ‘hidupkan apa yang telah ciptakan”, dan beliau bersabda : “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (patung-patung) tidak akan dimasuki oleh para malaikat” (HR Bukhari no. 5957)


Ketiga : Fatwa-Fatwa Ulama Menjelaskan Tentang Kebatilan Pembagian Tersebut

Antara lain fatwa Syaikh ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah, beliau berkata : “Tidak boleh mengistilahkan syari’at dengan “kulit”, karena di dalam syari’at itu terdapat banyak manfaat dan kebaikan. Bagaimana perintah ketaatan dan keimanan merupakan “kulit”? Sesungguhnya ilmu yang disebut dengan “hakikat” adalah satu bagian dari ilmu syari’at. Dan tidak menggunakan istilah-istilah ini kecuali orang yang dungu, celaka dan kurang ajar. Seandainya dikatakan kepada salah seorang dari mereka : “Sesungguhnya perkataan syaikh (guru) mu itu “kulit”, pastilah dia mengingkarinya dengan keras. Namun dia menyebut “kulit” terhadap syari’at! Sedangkan syari’at itu hanyalah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Maka orang jahil (bodoh) tersebut perlu dihukum dengan hukuman yang pantas dengan dosanya ini” [Fatawa Izz bin Abdis Salam, halaman 71-72]

Dengan ini semua jelaslah bahwa wajib memegangi Islam secara total, yakni mencakup kehidupan individu dan masyarakat. Syari’at Islam tidak meninggalkan perkara-perkara kecil, apalagi yang besar ; semua dijelaskan. Dengan demikian, Islam merupakan bangunan yang tinggi dan sempurna, dengan fondasi yang kuat dan kokoh. Kemudian dari pembagian yang tidak benar ini, yaitu beranggapan agama itu terdiri dari kulit dan isi, sebagian tokoh-tokoh kelompok Islam, seperti Syaikh Hasan Al-Bana, membangun kaidah lemah yang membolehkan terjadinya perpecahan umat. Yaitu kaidah :

“Kita saling menolong dalam perkara yang kita sepakati, dan saling toleransi dalam perkara yang kita berselisih padanya”.

Kemudian kaedah ini menjadi ketetapan pasti yang dibacakan kepada para pengikutnya. Dengan kaedah ini, mereka menentang setiap dakwah yang mengajak untuk bersatu di atas kalimat yang haq dan menentang penjelasan menurut Sunnah Nabi, tentang sikap terhadap para ahli bid’ah yang mengikuti hawa nafsu. Kaidah ini pertama kali dibuat oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah, kemudian beliau memandangnya sebagai kaedah yang rosak, sehingga beliau berlepas diri darinya. 

Seandainya kaedah ini diterapkan, pasti ajaran Islam akan rontok satu persatu, karena :

1). Perselisihan antara umat Islam terjadi sampai dalam perkara aqidah dan prinsip-prinsip. Oleh karena inilah umat berpecah-belah menjadi banyak kelompok. Maka orang yang memberikan toleransi perselisihan seperti ini, berarti dia membenarkan apa yang dilarang oleh Allah.

2). Kaidah ini tidak memiliki landasan dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan pemahaman Salafush Shalih. Bahkan manhaj Salaf bertentangan dengan kaidah rusak ini.

3). Seandainya kita praktikkan kaidah ini, pasti akan terbuka kerosakan yang sangat besar. Karena berarti kita memberikan toleransi kepada orang-orang yang menyerukan kepada fahaman wahdatul wujud ( Suatu pemahaman rusak yang dikafirkan oleh para ulama. Yaitu anggapan bahwa wujud hanyalah satu ; makhluk bersatu dengan sang Khaliq. Pemahaman Khawarij, nikah mut’ah, thawaf di kuburan, tawasul dengan orang-orang yang telah mati, mengingkari sifat-sifat Allah, pemahaman Jabariyah, dan kesesatan-kesesatan lainnya.

4). Hasil kaedah ini adalah kebalikan dari kemauan pembuatnya. Kemauan pembuatnya ialah untuk menghentikan perselisihan antar umat Islam. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa kaidah ini menjadi sebab bertambahnya perselisihan dan perpecahan. Oleh karena itulah para ulama pada zaman ini memfatwakan batilnya kaidah ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Dr. Hamd ‘Utsman –haizhahullah- di dalam kitabnya, Zajrul Mutahawun bi Dharari Qaidah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, halaman 123-133.

Sesungguhnya kebaikan itu hanyalah dengan kembali kepada agama yang mulia ini dalam segala bidangnya sesuai dengan kemampuan. Wallahul Musta’an.


Oleh: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali



والله أعلمُ بالـصـواب