Halaman

Isnin, 15 April 2013

Permudahkan Orang Yang Berhutang Denganmu



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته





“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).” (HR. Bukhari no. 2076)

Hutang-piutang merupakan suatu perkara yang sering terjadi dalam urusan muamalah sesama manusia. Islam tidak melarang umatnya untuk berhutang namun hendaklah mematuhi syarat-syarat yang telah digariskan oleh Syariat. Berhutang cukup mudah untuk dilakukan, namun sukar untuk melunaskannya apabila tiba masanya. Ada orang yang berhutang mampu membayarnya dengan kadar yang segera. Ada pula yang tidak mampu membayar dengan cepat sehingga perlu beransur-ansur sehingga selesai semua hutangnya. Ada juga yang mengambil masa yang cukup lama untuk membayar hutang berikutan kesukarang dan ketidakmampuan yang ada pada diri.  

Bagi mereka yang memberikan hutang, langkah yang terbaik untuk meminta hutang ialah dengan cara tidak menyusahkan penghutang. Memberi hutang kepada seseorang itu sahaja sudah termasuk dalam perbuatan yang mulia apatah lagi tidak membebankan penghutang itu. Ia juga dikira perbuatan yang mulia lagi terpuji. Tidak membebankan disini bukanlah bermaksud tidak perlu menuntut hutang. Akan tetapi menuntut hutang tanpa membuatkan mereka berada di dalam kesusahan yang lain. Contohnya menuntut hutang lebih awal dari tempoh yang dijanjikan, meminta tambahan atau bunga atas kelewatan sehingga membebankan penghutang, mengugut dan mengancam keselamatan serta kehidupan penghutang, dan sebagainya.

Daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ


“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan susah, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat.Allah akan senantiasa menolong hambaNya, selagi hamba tersebtu menolong saudaranya.” [Riwayat Muslim no. 2699]

 Hadith ini menyarakankan agar memberi kemudahan pada orang miskin –baik mukmin maupun kafir- yang memiliki hutang, dengan menangguhkan pelunasan hutang atau membebaskan sebhagian hutang atau membebaskan seluruh hutangnya.” [Tuhfatul Ahwazi (7/261)]

Sungguh beruntung sekali seseorang yang memberikan kemudahan bagi saudaranya yang berada dalam kesulitan, dengan izin Allah orang seperti ini akan mendapatkan kemudahan di hari yang penuh kesulitan yaitu hari kiamat.


Menuntut Hutang Dengan Cara Yang Baik.

Dalam Sahih Bukhari, dalamBab ‘Memberi kemudahan dan kelapangan ketika membeli, menjual, dan siapa saja yang meminta haknya, maka mintalah dengan cara yang baik’.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى

Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya). [Riwayat Al-Bukhari no. 2076]

Yang dimaksud dengan ‘ketika menagih haknya (hutangnya)’ adalah meminta dipenuhi haknya dengan memberi kemudahan tanpa terus mendesak. [Fathul Bari, 6/385]

Ibnu Hajar mengatakan bahawa dalam hadith ini terdapat galakan untuk memberi kemudahan dalam setiap muamalah, dan galakan untuk memberikan kemudahan ketika meminta hak dengan cara yang baik. Dalam Sunan Ibnu Majah didalam Bab ‘Meminta dan mengambil hak dengan cara yang baik’. Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ


“Siapa saja yang ingin meminta haknya, hendaklah dia meminta dengan cara yang baik baik kepada orang yang mahu menunaikan ataupun enggan menunaikannya.” [Riwayat Ibnu Majah no. 1965. Al-Munziri menilai bahawa hadits ini sahih atau hasan]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda untuk orang yang memiliki hak pada orang lain:


خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ


Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” [Riwayat Ibnu Majah no. 1966. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih]


Memberikan Ruang Waktu Bagi Orang yang Kesusahan

Allah Ta’ala berfirman:


وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ


“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Al Baqarah 2: 280]

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk bersabar terhadap orang yang berada dalam kesulitan, di mana orang tersebut belum mampu membayarhutang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang bermaksud), “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” Hal ini tidak seperti perlakuan orang jahiliyah dahulu. Orang jahiliyah tersebut mengatakan kepada orang yang berutang ketika tiba pada waktu pelunasan: “Kamu harus membayar hutangmu tersebut. Jika tidak, kamu akan dikenakan riba.”

Memberi tempoh waktu terhadap orang yang kesusahan adalah wajib. Selanjutnya jika ingin membebaskan hutangnya, maka ini hukumnya sunnah (dianjurkan). Orang yang berhati baik seperti inilah (dengan membebaskan sebagian atau seluruh hutang) yang akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang melimpah.


Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang bermaksud), “Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Tafsir Al Qur’an Al-Azhim, pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280]

Begitu pula dalam beberapa hadith disebutkan mengenai keutamaan orang-orang yang memberi tempoh waktu bagi orang yang sukar untuk melunasi hutang. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ



Barangsiapa memberi tempoh waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunaskan hutang atau bahkan membebaskan hutangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah. [Riwayat. Muslim no. 3006]

Dari salah seorang sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam –Abul Yasar-, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ


Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tempoh waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunaskan hutang atau bahkan dia membebaskan hutangnya tadi.” [Riwayat Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menilai hadith ini sahih]

Lihatlah pula akhlaq yang mulia dari Abu Qotadah kerana beliau pernah mendengar hadith di atas. Dulu Abu Qotadah pernah memiliki piutang pada seseorang. Kemudian beliau mendatangi orang tersebut untuk menyelesaikan utang tersebut. Namun ternyata orang tersebut bersembunyi tidak mau menemuinya. Lalu suatu hari, kembali Abu Qotadah mendatanginya, kemudian yang keluar dari rumahnya adalah anak kecil. 

Abu Qotadah pun menanyakan pada anak tadi mengenai orang yang berutang tadi. Lalu anak tadi menjawab, “Iya, dia ada di rumah sedang makan khoziroh.” Lantas Abu Qotadah pun memanggilnya, “Wahai fulan, keluarlah. Aku dikabari bahawa engkau berada di situ.” Orang tersebut kemudian menemui Abu Qotadah. Abu Qotadah pun berkata padanya, “Mengapa engkau harus bersembunyi dariku?”

Orang tersebut mengatakan, “Sungguh, aku adalah orang yang berada dalam kesulitan dan aku tidak memiliki apa-apa.” Lantas Abu Qotadah pun bertanya, “Apakah betul engkau adalah orang yang kesulitan?” Orang tersebut berkata, “Iya betul.” Lantas dia menangis.

Abu Qotadah pun mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Barangsiapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.[Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih. (Lihat Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah dan Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)]

Inilah keutamaan yang sangat besar bagi orang yang berhati mulia seperti Abu Qotadah. Begitu pula disebutkan bahwa orang yang berbaik hati untuk memberi tempoh waktu bagi orang yang kesulitan, maka setiap harinya dia dinilai telah bersedekah. Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,


من أنظر معسرًا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين فإذا حل الدين فأنظره كان له بكل يوم مثلاه صدقة


Barangsiapa memberi tempoh waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum sampai waktu pelunasan, dia akan dinilai telah bersedekah. Jika hutangnya belum mampu dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tempoh waktu setelah melebihi, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali ganda nilai piutangnya.” [Riwayat Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi]

Begitu pula terdapat keutamaan lainnya. Orang yang berbaik hati dan bersabar menunggu untuk hutangnya dilunasi, nescaya akan mendapatkan ampunan Allah.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ


Dulu ada seorang pedagang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang. Ketika melihat ada yang kesulitan, dia berkata pada budaknya: Maafkanlah dia (artinya bebaskan utangnya). Semoga Allah memberi ampunan pada kita. Semoga Allah pun memberi ampunan padanya.” [Riwayat Al-Bukhari no. 2078]

Itulah kemudahan yang sangat banyak bagi orang yang memberi kemudahan pada orang lain dalam masalah utang. Bahkan jika dapat membebaskan sebagian atau keseluruhan utang tersebut, maka itu lebih utama.


Memberi Kemudahan Bagi Orang yang Mudah Membayar Hutang

Selain memberi kemudahan bagi orang yang kesulitan, berilah juga kemudahan bagi orang yang mudah melunasi hutang. Perhatikanlah kisah dalam riwayat Ahmad berikut ini.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراً يَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ


Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berkata (yang artinya), “Lihatlah amalannya.” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rabbku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tempoh waktu sampai dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya), “Aku lebih berhak memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni.” [Riwayat Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih]

Al-Bukhari juga membawakan sebuah bab dalam kitab sahihnya iaitu baba memberi kemudahan bagi orang yang lapang dalam melunasi utang’. Lalu setelah itu, beliau membawakan hadith yang hampir sama dengan hadits di atas. Dari Huzaifah, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ


Beberapa malaikat menjumpai roh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, “Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?” Kemudian dia mengatakan, “Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tempoh waktu dan membebaskan hutang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.” Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” [Riwayat Bukhari no. 2077]


Bagaimana membezakan orang yang mudah dalam melunasi hutang (muwsir) dan orang yang sulit melunasinya (mu’sir)?

Para ulama' berselisih dalam mendefinisikan dua hal ini sebagaimana dapat dilihat di Fathul Bari, Ibnu Hajar. Namun yang lebih tepat adalah kedua istilah ini dikembalikan pada ‘urf  iaitu kebiasaan masing-masing tempat karena syari’at tidak memberikan batasan mengenai hal ini. Jadi, jika di suatu tempat sudah dianggap bahwa orang yang memiliki harta 1 juta dan kadar utang sekian sudah dianggap sebagai muwsir (orang yang mudah melunasi utang), maka kita juga menganggapnya muwsir. Wallahu a’lam.

Inilah sedikit pembahasan mengenai keutamaan orang yang berutang, yang berhati baik untuk memberi tenggang waktu dalam pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan utang sebagian atau seluruhnya.
Namun, yang kami tekankan pada akhir risalah ini bahwa tulisan ini ditujukan bagi orang yang memiliki piutang dan belum juga dilunasi, bukan ditujukan pada orang yang memiliki banyak utang. Jadi jangan salah digunakan dalam berhujah. 

Orang-orang yang memiliki banyak utang tidak boleh berdalil dengan dalil-dalil yang kami bawakan dalam risalah ini. Cuba bayangkan jika orang yang memiliki banyak hutang berdalil dengan dalil-dalil di atas, apa yang akan terjadi? Dia malah akan akan sering mengulur waktu dalam pelunasan hutang. 




والله أعلم بالـصـواب 

Rabu, 10 April 2013

Bab 4: Bid'ah Dalam Adat Istiadat dan Kebiasaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته





Orang-Orang Timur mempunyai tradisi yang tidak dikenal di negara-negara lain. Segolongan manusia terkeliru bila menyaksikan sebahagian orang Islam yang memegang teguh tradisi ini. Sehingga dianggapnya tradisi tersebut tumbuh dari prinsip-prinsip agama dan syariat Allah. Atau paling tidak, tradisi itu dianggapnya sesuai dengan perasaan-perasaan yang sudah dikenal dalam agama kita. Anggapan ini tidak benar, kerana tradisi-tradisi bangsa timur bukan prinsip-prinsip agama, dan amal perbuatan manusia bukanlah perintah-perintah Allah.


Firman Allah subhanahu wa ta'ala:


إِنَّهُمْ أَلْفَوْا آبَاءَهُمْ ضَالِّينَ [٦٩] فَهُمْ عَلَىٰ آثَارِهِمْ يُهْرَعُونَ [٧٠] وَلَقَدْ ضَلَّ قَبْلَهُمْ أَكْثَرُ الْأَوَّلِينَ [٧١] وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا فِيهِم مُّنذِرِينَ [٧٢] فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنذَرِينَ [٧٣] إِلاَّ عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ

Ertinya: “Sesungguhnya nenek moyang mereka itu dalam keadaan sesat. Kemudian mereka dengan segera (meniru) jejak-jejak mereka itu. Padahal sesungguhnya kebanyakan orang-orang dulu sebelum mereka telah sesat dan kepada mereka telah kami utus beberapa nabi yang bertugas untuk menyedarkan (munzirin). Kerana itu, lihatlah betapa akibatnya orang-orang yang diancam itu! Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan”. [As-Saffat 37: 69-74]

Kita hendaklah ittiba’ (mengikut) dalam hal ibadah dan masalah duniawi hendaklah kita permoden dan majukan. Ini saja sudah cukup untuk dapat memimpin kehidupan kita. Tetapi sebahagian kaum muslimin ada yang membuat sebaliknya, dia bersikap jumud (sempit) dalam hal yang seharusnya dia mesti bergerak. Dia bertindak mengubah dan menambah sewenang-wenangnya dalam hal yang seharusnya membatasi diri.

Kesalahan seperti ini dapat membawa kaum muslimin pada hidup yang tidak menentu. Urusan keduniaannya menjadi sempit dan urusan agamanya menjadi kabur. Sesungguhnya perjuangan untuk membersihkan tradisi-tradisi ibadat dari segala macam bid’ah yang telah bersarang itu tidak boleh ditangguhkan.


4.1. Bid’ah Dalam Urusan Jenazah

Saya sudah sering menyaksikan beberapa orang miskin yang kekurangan makan, tetapi dia berani berhutang untuk menghidupkan tradisi-tradisi yang menyimpang sebagai ketentuan agama atau lebih dari agama. Diupah pembaca-pembaca al-Quran untuk satu atau dua malam, dilanjutkan seminggu atau dua minggu. Pengorbanan berupa moral mahupun material ini diulang pada hari ke 40, satu tahun, dua tahun dan seterusnya.

Tradisi-tradisi ini sama sekali tidak dapat diterima oleh orang-orang yang mempunyai kefahaman yang baik terhadap dunia ini, apalagi oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman yang baik terhadap agama. Berapa banyak tempat berhimpun yang harus kita sediakan untuk para tetamu yang ke kubur? Berapa banyak perayaan untuk minggu pertama, hari ke empat puluh dan ulang tahunnya yang pertama.

Tidak diragukan lagi, bahawa apa yang dilakukan oleh orang-orang Islam seperti ini menunjukkan kebodohannya. Tetapi sayangnya ramai dari kalangan orang awam, termasuk juga ulama-ulama, yang mempertahankan kebodohan ini dalam bentuk-bentuk keagamaan yang mengaburkan.

Setiap muslim lelaki atau perempuan tidak boleh memakai pakaian khusus untuk berkabung atau membuat membuat tanda-tanda pada badannya, keadaannya, rumahnya dan pekerjaannya. Sebabnya pemergian seseorang ke akhirat, tidak bererti mencetuskan suasana krisis dan duka dalam percaturan hidup ini. Persoalannya cukup seperti apa yang dikatakan oleh seorang ahli hikmah, “Di mana ada orang mati, di situ ada juga yang hidup”.

Tidak ada tempat dalam Islam untuk berteriak-teriak untuk mengiringi jenazah. Mengeraskan suara walaupun dengan membaca Al Quran tetap tidak boleh.

Semua ini bertentangan dengan apa yang terjadi terhadap jenazah orang-orang salaf. Mereka melakukannya dengan penuh khusyuk sehingga keluarga yang ditinggal mati itu tidak diketahui mereka diliputi kesusahan dan kesedihan walaupun oleh orang-orang yang menghantar jenazah. Sedikit pun mereka tidak termenung dan cemas ketika mengingat pada mayat itu. Mereka bergantung kepadaNya, sebab mereka juga datang dariNya.

Takziah (Belasungkawa) yang digariskan Islam cukup mudah. Tidak perlu orang yang kesusahan itu menyediakan sesuatu dan mempersiapkan tempat khusus untuk para tetamu yang datang untuk bertakziah. Kini prinsip-prinsip akhlak itu telah goncang. 

Sudah menjadi kebiasaan, bahawa orang yang kesusahan, mesti pula menyediakan tempat khusus untuk bertakziah dan menghidangkan makanan-makanan dan minuman-minuman kepada para tetamunya. Padahal menurut Sunnah Nabi, keluarga yang kesusahan itu harus dibantu, misalnya dengan menyiapkan makanan untuk keluarganya. Bukan sebaliknya yang ditimpa kesusahan pula mesti menyediakan makanan dan minuman.

Sedangkan Imam Ahmad berkata, “Cara semacam ini adalah cara-cara jahiliah”. Kerana itu dia sangat membencinya.

Dengan kefahaman yang tersasar bahawa si mayat memperoleh faedah daripada perbuatan orang hidup, ramai orang awam yang mengupah pembaca Al Quran untuk membacakan Al-Quran kepada si mayat atau dengan membahagi-bahagikan makanan kepada orang yang menziarahi jenazah.


4.2. Bid’ah Dalam Majlis Perkahwinan


Kebanyakan majlis perkahwinan dilakukan dengan berlebih-lebihan dan memaksakan diri. Jarang sekali mereka yang mengadakan pesta perkahwinan itu dengan sederhana sahaja. Di antaranya mereka berlebih-lebihan dalam perkara yang hanya berstatus harus (mubah) sahaja. Mereka perluas ruangnya dan sehingga berlebih-lebihan, melebihi cara yang dilakukan oleh penganut agama-agama lain.

Perempuan-perempuan agama lain cukup berpakaian sederhana tapi kemas, sedangkan perempuan muslimah tidak mahu kalau tidak memakai kain yang termahal.

Seharusnya umat Islam mempermudahkan amalan tradisi yang menyebabkan pesta-pesta perkahwinan mereka itu hanya penuh dengan nafsu makan, riya’ dan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan tidak bererti itu.

Walimatul urus (pesta perkahwinan) merupakan satu tradisi yang baik dan perlu pengorbanan dan keringanan. Tetapi di sebalik tradisi yang baik itu, Islam tidak merestui adanya berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan dalam makanan.

Isteri dan anak-anak Nabi sallallahu 'alaihi wasallam kahwin , dengan suatu majlis yang tidak memberat-beratkan diri dan tidak berhutang. Kemudian lihatlah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam merayakan perkahwinan mereka. Berapa banyak belanja yang disediakan untuk membuat walimah sehingga tidak habis dimakan oleh yang lapar dan papa.


4.3. Perkahwinan Dan Ikatan Keluarga

Umat Islam dewasa ini terbahagi kepada dua bahagian. Yang sebahagian tidak memberi tempat kepada kaum wanita, seperti yang terjadi di Yaman dan Hijaz. Sedangkan yang sebahagian lagi memberikan tempat kaum wanita tetapi terkeliru. Kedudukan wanita sangat membingungkan seperti yang kini berlaku di Mesir.

Umat kita mendiamkan kemungkaran yang diperbuat oleh para ‘play boy’. Mereka membiarkan para pemuda bertahun-tahun bergelumang dengan maksiat seperti bersekedudukan dan bercinta sebelum melangkah ke alam perkahwinan.

Perempuan yang dibiarkan untuk melacur dan menjadi permainan hawa nafsu akan dapat menggoncangkan umat seluruhnya dan akan dipermainkan oleh syaitan.

Umat kita dapat menerima kemungkaran ini tetapi mereka tidak dapat menerima untuk meringankan pesta besar-besaran yang diadakan ketika akad nikah.

Saya pernah menyaksikan di Hijaz dan Palestin (dan juga di Malaysia – pent) adanya berlebih-lebihan dalam masalah mahar. Sehingga orang lelaki tidak akan dapat berdampingan dengan seorang perempuan, kecuali bila dia dapat membawa beratus-ratus dan beribu-ribu wang.

Kemudian apa yang terjadi akibat dari itu semua? Kemungkaran bermaharajalela di sana sini.

Tidak layak orang-orang jahil itu berbicara tentang dibolehkan berlebihan dalam hal mahar menurut syarak. Walaupun dianggap sebagai suatu perbuatan yang baik, hal tersebut tidak patut diamalkan. Sebabnya sunnah Nabi tidak membolehkannya kecuali sesudah sempurnanya yang wajib. Jika hal yang wajib itu telah dipijak-pijak, di mana letak yang sunat?

Dan kalau kehormatan diri sudah tidak ada lagi dan perbuatan sundal sudah merata, apakah perlu berbicara soal dibolehkannya berlebihan dalam masalah mahar? Ramai orang Islam yang menjadikan masalah perkahwinan syari’ sebagai suatu hal yang sangat sukar dan payah, sehingga menyebabkan berleluasanya maksiat di dalam masyarakat.

Alangkah baiknya jika kaum muslimin mempelajari bagaimana cara mengatur hubungan antara lelaki dan wanita dengan cara yang benar dan bagaimana caranya agar setiap anggota keluarga dapat berhimpun di halaman masjid pagi dan petang dan sebahagian waktu malam.

Bahkan bagaimana caranya supaya lelaki dan perempuan dengan serentak mahu berjuang untuk menegakkan kalimatullah. Dari sekian banyak yang kita saksikan, ada sebahagian ahli masyarakat yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada anak-anaknya.

Di segi mencari nafkah seluruh masyarakat Eropah telah sampai pada suatu batas di mana suami isteri sama-sama aktif dalam berbagai pekerjaan dan lupa mengurus rumahtangga.


4.4. Peringatan Hari Ulang Tahun Nabi, Hari Asyura Dan Hari Cuti Mingguan


Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi di Kota Erbel ialah Raja Al Mudhaffar Abu Sa’id pada abad ketujuh. Kemudian peringatan ini meluas ke mana-mana dan banyak penggemarnya.

Manakala hari peringatan lain yang bid’ah ialah sambutan hari Asyura (pada 10hb Muharram) yang dirayakan oleh golongan Syiah dan golongan ahli sunnah.

Golongan Syiah pada hari tersebut mereka memukul tubuh mereka dengan apa saja yang ada di tangannya, sebagai tanda berduka cita atas kematian Husain. Manakala golongan Ahlus Sunnah adalah sebaliknya iaitu merayakan hari tersebut dengan membuat kenduri dengan beraneka makanan dan kuih.

Apa yang diperbuat oleh kedua golongan tersebut sama sekali tidak bersumber dari ajaran Islam .

Di antara perbuatan bid’ah ialah peringatan maulid Nabi, Israk Mikraj, Nisfu Syaaban, Lailatul Qadar dan awal tahun Hijrah.

Kota-kota besar sekarang ini hampir tidak bergerak pada hari minggu (hari Ahad) , kerana tempat-tempat pekerjaan semua bercuti. Sebaliknya pada hari Jumaat tidak ada kesempatan bagi seorang buruh untuk berhias, bersenang-senang atau beristirehat. Kini kita dapati kemenangan tradisi Eropah , (yang sebenarnya tradisi Kristian) ke atas tradisi Islam.


[ Kitab Bid'ah wa al-Syirk karya Dr Yusuf Qardhawi dan Syeikh Muhammad Al-Ghazali ]


Rujuk: Maulana Asri, Darulkautsar.net.



والله أعلم بالـصـواب