السلام عليكم
Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbezaan dalam menilai siapa ulama'. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakikat para ulama itu.
Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafussoleh dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al Quran al-Karim, Sunnah Rasulullah s.a.w dan ucapan para sahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah.
Berkata Imam Syafie : “Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadith dan fiqh dan memahami agama. Ilmu adalah yang terdapat padanya haddathana (telah mengkabarkan kepada kami - yakni ilmu hadith) dan selain dari padanya adalah bisikan-bisikan syaitan.”
Berkata Ibnu Qayyim: “Ilmu adalah perkataan Allah, perkataanRasul-Nya, berperkataan para sahabat yang tiada menyelisihi akal sihat padanya.” (Al Haqidatusy-Syar’iyah: 119-120)
Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut serta mengamalkannya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah s.w.t . Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah s.w.t dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah s.w.t dan mengetahui batasan-batasan syariat-Nya serta kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29)
Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qayyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155)
Berkata Ibnu Majisyun, salah seorang murid Imam Malik: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi Imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al-Qur’an dan Hadith dan tidak menjadi imam dalam hal hadith sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Berkata Imam Syafiie : “Jika datang sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali orang yang terpercaya dan berilmu tentang al Kitab dan Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab. (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, dan ulama su’ (jahat), atau ahlul bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas Sunnah.
والله أعلمُ بالـصـواب